Sukseskan Pelaksanaan Kurikulum 2013, untuk Pendidikan Indonesia yang Berkualitas

25 September 2010

Jadi Guru Yuk...!

Tidak jauh berbeda dengan membangun rumah ! Perlu material kualitas yang baik (jika tidak bisa yang terbaik), rancang bangun yang kuat dan indah, serta tukang-tukang profesional tetapi dana dapat ditekan seminimal mungkin (yang benar seoptimal mungkin). Begitu pula dengan membangun sebuah generasi. Jika menginginkan generasi dengan kualitas unggul, maka harus menyediakan media pendukung yang terbaik pula.
Uniknya, sedikit berbeda dengan konstruksi bangunan yang dapat diukur hasilnya secara matematis dan 99% pasti (yang satu persen post major), maka membangun generasi tidak dapat dipastikan hasilnya. Terlalu banyak variabel (faktor-faktor) yang mendeterminasi untuk mendukung ataupun merusak hasil yang ingin dicapai. Yang lebih penting lagi sangat berkebalikan dengan fisik bangunan yang cenderung sebagai obyek, sebuah generasi lebih ‘agak’ diperlakukan sebagai ‘subyek’.
Jadi generasi yang bagaimanakah yang kita inginkan. Lalu seberapa kuat keinginan kita membangun generasi tersebut. Kemudian seberapa mampu kita menyediakan media-media yang mampu mengarahkan sebuah generasi sesuai dengan cita-cita kita. (Sekali lagi) Yang lebih penting, seberapa shabar kita menggarap ‘GARAPAN’ yang tidak pernah selesai itu bahkan sampaipun kita mati. Apalagi dengan label “ISLAM” dengan sebutan “GENERASI SHOLEH” diembel-embeli lagi dengan “CERDAS” serta “KREATIF”.

Begitu panjangnya membahas material dan media, maka tidak ada ruginya kita mengulas satu sisi saja yaitu guru (yang ‘katanya’ singkatan dari digugu dan ditiru) sebagai bagian utama proyek membangun generasi.
Sejenak perlu kita mengingat sabda Rosululloh, “Kullu mauludin yuladun ‘alal fitrah, fa abawahu ay yuhawidanihi, au yumajisanihi, au yunasironihi” Tiap-tiap anak yang dilahirkan berada dalam keadaan fitrah, maka orang tuanya yang menjadikannya yahudi, majusi atau nasrani.

Dari hadits beliau tersebut, menunjukkan betapa pembentuk pertama dan utama generasi adalah orang tuanya (dan atau walinya). Rumus itu tidak pernah berubah hingga akhir zaman. Bagaimana dengan lingkungan, guru dan sekolah ? Orang tuanyalah yang memberikan lingkungan, mencarikan guru serta menempatkan dia sekolah.
Mungkin urutan kejadian sebenarnya adalah orang tua adalah “guru utama” kemudian dia memberikan kepada anaknya tugas belajar di lingkungan sekitarnya dengan memberi berbagai arahan. Disamping itu ia menugasi seorang asistennya yang bernama ‘guru di sekolah’ untuk mengajar di lingkungan yang lain yang bernama sekolah. Mestinya kalau asistennya kurang ‘oke’ dalam bekerja tentu ‘guru utama’ perlu memberi perhatian atau bahkan menegur agar dapat terjadi proyek ‘pembangunan’ berjalan sebagaimana yang diinginkan dan disepakati. Proses ini begitu penting terjadi supaya arahan utama pembelajaran sesuai dengan keinginan guru utama dan sinkron dengan asistennya. Mendiskusikan, menyelesaikan permasalahan, merencanakan segala aspek dan lain-lain menjadi bagian dari proyek ‘pembentukan generasi’. Sangat butuh ketekunan dan keshabaran. Bahkan saat ini perlu ‘extra shabar’.
Lalu, bagaimana kiranya jika ada pertanyaan yang berbunyi “bagaimana jika guru utama yang kurang ‘oke’ dalam bekerja dalam proyek pembangunan, apa asistennya perlu menegur?
Kalau itu yang ditanyakan, jawaban saat ini, sebagaimana lagu Ebiet (yang seperti orang sedang putus asa) solusinya ya mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang. Tetapi jika kita shabar untuk mencari jawabannya suatu saat kita pasti akan menemukan solusinya. InsyaAlloh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar